Umar Kayam lahir
di Ngawi 30 April 1932. Ibunya bernama Koentjiati, ayahnya Sastrosoekotjo. Dari
bayi sampai umur kurang lebih 2 tahun bertempat tinggal di Wonogiri, tempat di
mana ayahnya ditugaskan sebagai guru bantu (bertugas mengenalkan huruf-huruf
latin, membimbing membaca dan menulis). Ayah Umar, Sastrosoekoso, adalah guru
di Hollands Islands School (HIS) yang berharap anaknya kelak dapat menjadi seperti Omar Khayam, seorang sufi, filsuf, ahli perbintangan, ahli
matematika, dan pujangga kenamaan asal Persia yang hidup pada abad ke-12. Oleh
sebab itu Sastrosoekoso memberi nama anaknya Umar Kayam.
Pendidikan Umar
Kayam dimulai di voorklas (TK), dilanjutkan H.I.S (Hollands Inlands School–sekolah dasar untuk anak-anak priyayi guna menyiapkan priyayi-priyayi
gubernemen Pemerintahan Kolonial Belanda) “Siswo” Mangkunegaran sampai dengan
lulus. Berbeda dengan HIS di tempat lain HIS Siswo Mangkunegaran mempunyai
karakter kejawaan dengan mewajibkan semua anak didiknya berbicara dalam bahasa
Jawa krama. Tetapi di dalam kelas mereka diajari bahasa Belanda dengan penuh
disiplin. Selepas HIS, Umar Kayam melanjutkan ke MULO (Meer Uitgebreid Lager
Onderwijs). Di lingkungan keluarga, pendidikan yang ditanamkan kedua
orangtuanya sangat kuat. Umar Kayam dan adik-adiknya sejak kecil sudah
dibiasakan untuk senang membaca. Sampai dengan usia 13 tahun Umar Kayam tinggal
di Surakarta dalam lingkungan Mangkunegaran dengan sekali-kali berlibur ke
Ngawi (tempat kakek dan neneknya). Lingkungan-lingkungan inilah yang membangun
kepribadiannya.
Umar Kayam
adalah seorang sosiolog, novelis, cerpenis, dan budayawan juga seorang guru
besar di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
(1988-1997-pensiun). Umar merupakan perintis Universitaria di RRI Nusantara II
Yogyakarta yang menyajikan berbagai informasi kegiatan mahasiswa. Ia juga
mendirikan majalah minggu dan berbagai kegiatan yang lain, terutama yang
terkait dengan kebudayaan.
Umar Kayam
adalah “manusia” dengan berbagai wajah akademisi, birokrat, seniman, budayawan
dan pecinta makanan. Berbagai kelompok suku, agama, status sosial, dan
sebagainya menjadi perhatiannya baik dalam kedudukannya sebagai ilmuwan maupun
seniman. Ia adalah seorang multikulturalis yang inklusif, menghargai perbedaan
dan keragaman yang ada di nusantara. Meskipun demikian dengan caranya yang khas
ia melakukan kritik tajam terhadap budaya feodal yang menutup akses pada
keterlibatan wong cilik, dan hanya semakin mengekalkan dominasi para priyayi.
Dengan tegas ia menolak ketika pendidikan diarahkan hanya untuk menjadi
pegawai, menjadi priyayi khususnya.
Semasa kecil,
Umar sudah akrab dengan dunia membaca. Ia terbiasa dengan bacaan-bacaan dongeng
dan pelajaran yang terkait dengan bahasa Belanda. Saat duduk di MULO (setingkat
dengan SMP) Umar akrab dengan novel Gone with the Wind dan yang lain. Masuk
SMA, bersama teman-temannya saat itu adalah Nugroho Notosusanto dan Daoed
Joesoef (keduanya menjadi Menteri Pendidikan) mengelola majalah dinding untuk
mengeksplorasi karya-karyanya. Karya Umar yang pertama kali dimuat di majalah
di Jakarta adalah cerpen Bunga Anyelir.
Meski sibuk di
bidang akademis dan birokrasi, darah seni pria asal Ngawi ini tidak luntur
begitu saja. Berbagai cerpen, esai, juga novel telah ditulisnya, seperti Seribu
Kunang di Manhattan. Ia juga menghasilkan dua novelet yang dibukukan jadi satu,
Bawuk dan Sri Sumarah. Semasa hidupnya, Umar juga menjadi kolumnis di berbagai
media massa. Sebagai kolumnis, Umar dikenal dengan ciri khas tulisannya yang
berbau renungan, tetapi tidak mengajak pembacanya berpikir berat. Sementara di
bidang perfilman, Umar pernah menulis beberapa skenario film, di antaranya
Jalur Penang dan Bulu-Bulu Cendrawasih, yang difilmkan pada 1978. Selain itu,
ia pernah memerankan satu pemain dalam film Karmila yang disutradarai oleh Ami
Priyono. Ia juga pernah berperan sebagai Pak Bei dalam sinetron Canting (yang
diangkat dari novel Arswendo Atmowiloto), serta memerankan sosok Bung Karno
dalam film G30S-PKI yang disutradari Arifin C Noor.
Pada masa clash
I, Sastrosoekotjo pindah ke Yogyakarta. Di kota inilah Umar Kayam menyelesaikan
SMA-nya. Tahun 1951 Umar Kayam meneruskan pendidikannya ke Universitas Gadjah
Mada jurusan Paedagogik Fakultas SPF (Sastra Paedagogik dan Filsafat). Di SPF, Umar
Kayam aktif di bidang kesenian dan kebudayaan. Pribadinya yang ramah, terbuka
membuat ia mudah bergaul sehingga mempunyai banyak teman. Ia sering mengadakan
pentas teater bersama Rendra, Subagyo Sastrowardoyo, Widyati Saebani dan
lain-lain. Tempat yang biasa untuk pentas adalah Gedung Negara, Gedung Batik
PPBI, Gedung Chung Hua Tsung Hui (CHTH), Gedung BTN, dan Sriwedari.
Umar Kayam
meneruskan pendidikannya untuk memperoleh gelar doktor di Cornell University
dalam bidang sosiologi dan lulus tahun 1965. Setibanya di Indonesia ia
menjumpai kondisi negara yang morat-marit di segala bidang. Antara ketidak-
mengertian dengan apa yang terjadi, kegairahan seorang muda, semangat menyambut
tatanan baru, ia menerima jabatan sebagi Dirjen RTF (Radio, Televisi dan Film)
Departemen Penerangan RI (1966–1969). Pengangkatan ini melalui Keputusan
Menteri Penerangan No. 10/SK/M/1966, tertanggal 21 Desember 1966. Umar Kayam
yang lebih dikenal dalam bidang kesusastraan dan keilmuan dipilih karena
sikapnya yang netral, selain itu juga karena pergaulannya yang luas di berbagai
kalangan, baik yang duduk di pemerintahan maupun sastrawan seniman dan kalangan
profesional lain. Ketika terpilih menjadi Dirjen RTF Umar Kayam mengeluarkan
kebijakan yang disahkan oleh Menteri Penerangan B.M. Diah melalui SK.No.
71/SK/M/1967, untuk menstimulasi importir (baik film maupun barang dagang lain
misal tekstil dan mesin) agar mendatangkan film luar negeri sebanyak-banyaknya,
disertai kewajiban membeli saham yang akan digunakan untuk mendanai produksi
film dalam negeri.
Selain menjadi
Dirjen RTF, beberapa jabatan yang pernah diemban Umar Kayam antara lain ketua
Dewan Kesenian Jakarta merangkap Rektor Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta
(1969-1972), Direktur Pusat Latihan Ilmu-ilmu Sosial Universitas Hasanuddin
(1975-1976), Direktur Pusat Penelitian dan Studi Kebudayaan UGM (1977-1997),
dosen Fakultas Sastra UGM (1977-1997), Dosen STF Driyarkara (1972), dosen luar
biasa Fakultas Ilmu-ilmu Sosial UI (1970-1974) dan Fakultas Sastra UI
(1974-1975), anggota Board of Trustees of International Institute of
Communications, London (sejak 1969).
Kekhasan karya
Umar Kayam terletak pada cerita-ceritanya yang tidak pernah hanya memiliki satu
arti. Ia memberi kebebasan penuh pada pembaca untuk menyimpulkan dan
menafsirkan cerita. Ia sekedar memberi gambaran suasana tertentu dan melalui
suasana yang terbias dari batin tokoh-tokohnya. Sejumlah tema bisa muncul,
pembaca dapat menemukan tema cerita dari banyak segi. Dalam novelnya ia mampu
memanfaatkan rekaman realitas individu (data-data pribadi) yang tidak ditangkap
oleh sejarah dan sosiologi yang hanya mampu merekonstruksi data-data kasat
mata. Umar Kayam telah menyumbangkan pendekatan realisme kultural. Seorang
realis dengan kemampuan mengolah data-data cultural dan etnisitas secaran
kreatif.
Dalam seni
peran, Umar Kayam pernah menjadi aktor dalam film “Karmila”, “Kugapai Cintamu”,
“Pengkhianatan G 30 S/PKI”, “Jakarta 66”. Juga penulis scenario untuk film
“Yang Muda Yang Bercinta”, “Jago”, dan “Frustasi Puncak Gunung”. Ia juga pernah
memerankan Presiden Soekarno, pada film Pengkhianatan G 30 S/PKI. Pernah juga
menjadi Ketua Dewan Juri Festival Film Indonesia (1984).
Perhatian Umar
Kayam di bidang kebudayaan merupakan benang merah pemikiran yang terefleksikan
dalam berbagai karyanya, yakni transformasi cultural dari budaya agraris menuju
modern. Ilmu dan kebudayaan Indonesia menurutnya, haruslah berangkat dari
kotak-kotak kebudayaan dan bukan menuju kotak-kotak kebudayaan. Menghargai
fenomena pluralisme dalam masyarakat Indonesia, untuk tidak menempatkannya sebagai
kendala namun menjadi modal. Umar Kayam terkenal dengan teorinya tentang
manusia Indonesia sebagai “pejalan budaya” (cultural commuter), yaitu sebagai
orang yang bergerak secara ulang-alik dari tradisionalitas ke modernitas, dari
desa menuju kota. Desa dengan penyangga komunitasnya di satu sisi melahirkan
berbagai ekspresi kebudayaannya, demikian pula kota dengan penyangga
masyarakatnya.
Pandangan Umar
Kayam yang cenderung modern dalam membina rumah tangganya itu, ternyata
kontradiktif dengan pandangannya dalam menyikapi kemajuan zaman, khususnya
teknologi komputer. Meski zaman telah dilanda komputerisasi, Profesor doktor
yang pernah menjabat sebagai guru besar di Universiatas Gajah Mada itu enggan
meninggalkan mesin ketik manualnya yang kalau dipakai mengeluarkan suara yang
dapat menagganggu orang di sekitarnya. Jika teman-temannya membujuknya untuk
menggunakan komputer, Umar Kayam menantang mereka, “Yakinkan saya bahwa dengan
komputer saya bisas kreatif.” Tentu saja tak seorang pun yang dapat memberikan
jaminan. Sebagai ilmuwan yang seniman atau sebaliknya, Umar Kayam berperan baik
sebagai fasilitator (ketika ia menjadi pejabat), memberi sumbangan pemikiran
(terutama dengan karya tulis dan penelitiannya), sekaligus dalam bentuk
keterlibatan langsung sebagai pelaku seni.
Hasil karya Umar
Kayam yaitu:
1.
Seribu
Kunang-kunang di Manhattan (kumpulan cerpen, 1972)
2.
Totok dan Toni
(cerita anak, 1975)
3.
Sri Sumarah dan
Bawuk (1975)
4.
Seni, Tradisi,
Masyarakat (kumpulan esai, 1981)
5.
Sri Sumarah
(kumpulan cerpen, 1985, juga terbit dalam edisi Malaysia, 1981)
6.
Semangat
Indonesia: Suatu Perjalanan Budaya (bersama Henri Peccinotti, 1985)
7.
Para Priyayi
(novel, 1992) Mendapat Hadiah Yayasan Buku Utama Departemen P dan K, diberikan
pada tahun 1995)
8.
Parta Karma
(kumpulan cerpen, 1997)
9.
Jalan Menikung
(novel, 2000)
Umar Kayam wafat
pada 16 Maret 2002 setelah menderita patah tulang paha pangkal kiri.