Biografi Jalaluddin Rumi
Sabtu, 09 November 2013
0
komentar
Maulana
Jalaluddin Rumi Muhammad bin Hasin al Khattabi al-Bakri (Jalaluddin Rumi) atau
sering pula disebut dengan nama Rumi adalah seorang penyair sufi yang lahir di
Balkh (sekarang Afganistan) pada tanggal 6 Rabiul Awwal tahun 604 Hijriah, atau
tanggal 30 September 1207 Masehi. Ayahnya masih keturunan Abu Bakar, bernama
Bahauddin Walad. Sedang ibunya berasal dari keluarga kerajaan Khwarazm. Ayah
Rumi seorang cendekia yang saleh, ia mampu berpandangan ke depan, seorang guru
yang terkenal di Balkh. Saat Rumi berusia 3 tahun karena adanya bentrok di
kerajaan maka keluarganya meninggalkan Balkh menuju Khorasan. Dari sana Rumi
dibawa pindah ke Nishapur, tempat kelahiran penyair dan ahli matematika Omar
Khayyam. Di kota ini Rumi bertemu dengan Attar yang meramalkan si bocah
pengungsi ini kelak akan masyhur yang akan menyalakan api gairah Ketuhanan.
Bagi sebagian
kalangan khususnya pecinta syair, pecinta sastra dan kalangan sejarawan islam.
Nama Jallaludin rumi’ pasti tidak asing lagi. Beliau adalah ulama’ besar, sufi
dan juga seorang penyair. Bersama Syaikh Hisamuddin pula, Rumi mengembangkan
Thariqat Maulawiyah atau Jalaliyah. Thariqat ini di Barat dikenal dengan nama
The Whirling Dervishes (para Darwisy yang berputar-putar). Nama itu muncul
karena para penganut thariqat ini melakukan tarian berputar-putar, yang
diiringi oleh gendang dan suling, dalam dzikir mereka untuk mencapai ekstase.
Atau yang sering kita sebut sebagai tarian Darwish. Selama 15 tahun terakhir
masa hidupnya beliau berhasil menghasilkan himpunan syair yang besar dan
mengagumkan yang diberi nama Masnawi. Buku ini terdiri dari enam jilid dan
berisi 20.700 bait syair.
Maulana
Jalaluddin Rumi Muhammad bin Hasin al Khattabi al-Bakri (Jalaluddin Rumi) atau
sering pula disebut dengan nama Rumi adalah seorang penyair sufi yang lahir di
Balkh (sekarang Afganistan) pada tanggal 6 Rabiul Awwal tahun 604 Hijriah, atau
tanggal 30 September 1207 Masehi. Ayahnya masih keturunan Abu Bakar, bernama
Bahauddin Walad. Sedang ibunya berasal dari keluarga kerajaan Khwarazm. Ayah
Rumi seorang cendekia yang saleh, mistikus yang berpandangan ke depan, seorang
guru yang terkenal di Balkh. Saat Rumi berusia 3 tahun karena adanya bentrok di
kerajaan maka keluarganya meninggalkan Balkh menuju Khorasan. Dari sana Rumi
dibawa pindah ke Nishapur, tempat kelahiran penyair dan alhi matematika Omar
Khayyam. Di kota ini Rumi bertemu dengan Attar yang meramalkan si bocah
pengungsi ini kelak akan masyhur yang akan menyalakan api gairah Ketuhanan.
Di samping
kepada ayahnya, Rumi juga berguru kepada Burhanuddin Muhaqqiq at-Turmudzi,
sahabat dan pengganti ayahnya memimpin perguruan. Rumi juga menimba ilmu di
Syam (Suriah) atas saran gurunya itu. Ia baru kembali ke Konya pada 634 H, dan
ikut mengajar pada perguruan tersebut. Setelah Burhanuddin wafat, Rumi
menggantikannya sebagai guru di Konya. Dengan pengetahuan agamanya yang luas,
di samping sebagai guru, ia juga menjadi da’i dan ahli hukum Islam. Ketika itu
di Konya banyak tokoh ulama berkumpul. Tak heran jika Konya kemudian menjadi pusat
ilmu dan tempat berkumpul para ulama dari berbagai penjuru dunia.
Kesufian dan
kepenyairan Rumi dimulai ketika ia sudah berumur cukup tua, 48 tahun.
Sebelumnya, Rumi adalah seorang ulama yang memimpin sebuah madrasah yang punya
murid banyak, 4.000 orang. Sebagaimana seorang ulama, ia juga memberi fatwa dan
tumpuan ummatnya untuk bertanya dan mengadu. Kehidupannya itu berubah seratus
delapan puluh derajat ketika ia berju
Masa kecil Rumi,
adalah masa pendidikan keras yang diterimanya. Ia tumbuh menjadi seorang lelaki
yang kaku, selain Qur’an, hadits, fiqh, tafsir dan filsafat ia tak mau
mempelajarinya. Sampai kemudian ia bertemu dengan seorang yang merubah
hidupnya. Syamsi Tabriz, seorang sufi yang dengan tenang pernah membuang
buku-buku filsafat Rumi ke dalam sumur. “Buku ini sangat rumit dan sulit
dipahami,” katanya sambil melempar buku-buku tebal Rumi ke dasar sumur. Kontan
saja, Rumi marah besar dibuatnya dan mengatakan betapa besar kerugian akan
peristiwa itu. Tapi Syamsi, masih tenang. Tak banyak bicara ia menarik keluar
buku-buku Rumi. Ajaib, semuanya utuh tak basah meski hanya selembar saja.
Peristiwa itulah yang membuat Rumi memohon untuk menjadi murid Syamsi.
Suatu saat,
seperti biasanya Rumi mengajar di hadapan khalayak dan banyak yang menanyakan
sesuatu kepadanya. Tiba- tiba seorang lelaki asing–yakni Syamsi Tabriz–ikut
bertanya, “Apa yang dimaksud dengan riyadhah dan ilmu?” Mendengar pertanyaan
seperti itu Rumi terkesima. Kiranya pertanyaan itu jitu dan tepat pada
sasarannya. Ia tidak mampu menjawab. Berikutnya, Rumi berkenalan dengan Tabriz.
Setelah bergaul beberapa saat, ia mulai kagum kepada Tabriz yang ternyata
seorang sufi. Ia berbincang-bincang dan berdebat tentang berbagai hal dengan
Tabriz. Mereka betah tinggal di dalam kamar hingga berhari-hari.
Sultan Salad,
putera Rumi, mengomentari perilaku ayahnya itu, “Sesungguhnya, seorang guru
besar tiba-tiba menjadi seorang murid kecil. Setiap hari sang guru besar harus
menimba ilmu darinya, meski sebenarnya beliau cukup alim dan zuhud. Tetapi
itulah kenyataannya. Dalam diri Tabriz, guru besar itu melihat kandungan ilmu
yang tiada taranya. Rumi benar-benar tunduk kepada guru barunya itu. Di
matanya, Tabriz benar-benar sempurna.
Kumpulan puisi
Rumi yang terkenal bernama al-Matsnawi al-Maknawi konon adalah sebuah revolusi
terhadap Ilmu Kalam yang kehilangan semangat dan kekuatannya. Isinya juga
mengeritik langkah dan arahan filsafat yang cenderung melampaui batas,
mengebiri perasaan dan mengkultuskan rasio. Diakui, bahwa puisi Rumi memiliki
ciri khas tersendiri dibandingkan para sufi penyair lainnya. Melalui
puisi-puisinya Rumi menyampaikan bahwa pemahaman atas dunia hanya mungkin
didapat lewat cinta, bukan semata-mata lewat kerja fisik. Dalam puisinya Rumi
juga menyampaikan bahwa Tuhan, sebagai satu-satunya tujuan, tidak ada yang
menyamai.
Ciri khas lain
yang membedakan puisi Rumi dengan karya sufi penyair lain adalah seringnya ia
memulai puisinya dengan menggunakan kisah-kisah. Tapi hal ini bukan dimaksud ia
ingin menulis puisi naratif. Kisah-kisah ini digunakan sebagai alat pernyataan
pikiran dan ide. Banyak dijumpai berbagai kisah dalam satu puisi Rumi yang
tampaknya berlainan namun nyatanya memiliki kesejajaran makna simbolik.
Beberapa tokoh sejarah yang ia tampilkan bukan dalam maksud kesejarahan, namun
ia menampilkannya sebagai imaji-imaji simbolik. Tokoh-tokoh semisal Yusuf,
Musa, Yakub, Isa dan lain-lain ia tampilkan sebagai lambang dari keindahan jiwa
yang mencapai ma'rifat. Dan memang tokoh-tokoh tersebut terkenal sebagai
pribadi yang diliputi oleh cinta Ilahi.
Rumi memang
bukan sekadar penyair, tetapi ia juga tokoh sufi yang berpengaruh pada
zamannya. Rumi adalah guru nomor satu tarekat Maulawiah –sebuah tarekat yang
berpusat di Turki dan berkembang di daerah sekitarnya. Tarekat Maulawiah pernah
berpengaruh besar dalam lingkungan Istana Turki Utsmani dan kalangan seniman
pada sekitar tahun l648. Sebagai tokoh sufi, Rumi sangat menentang
pendewa-dewaan akal dan indera dalam menentukan kebenaran. Pada zamannya, ummat
Islam memang sedang dilanda penyakit itu.
Bagi kelompok
yang mengagung-agungkan akal, kebenaran baru dianggap benar bila mampu digapai
oleh indera dan akal. Segala sesuatu yang tidak dapat diraba oleh indera dan
akal, cepat-cepat mereka ingkari dan tidak diakui. Padahal, menurut Rumi,
justru pemikiran semacam itulah yang dapat melemahkan iman kepada sesuatu yang
ghaib. Dan karena pengaruh pemikiran seperti itu pula, kepercayaan kepada
segala hakekat yang tidak kasat mata, yang diajarkan berbagai syariat dan
beragam agama samawi, bisa menjadi goyah.
Rumi mengatakan,
“Orientasi kepada indera dalam menetapkan segala hakekat keagamaan adalah
gagasan yang dipelopori kelompok Mu’tazilah. Mereka merupakan para budak yang
tunduk patuh kepada panca indera. Mereka menyangka dirinya termasuk
Ahlussunnah. Padahal, sesungguhnya Ahlussunnah sama sekali tidak terikat kepada
indera-indera, dan tidak mau pula memanjakannya.”
Bagi Rumi, tidak
layak meniadakan sesuatu hanya karena tidak pernah melihatnya dengan mata
kepala atau belum pernah meraba dengan indera. Sesungguhnya, batin akan selalu
tersembunyi di balik yang lahir, seperti faedah penyembuhan yang terkandung
dalam obat. “Padahal, yang lahir itu senantiasa menunjukkan adanya sesuatu yang
tersimpan, yang tersembunyi di balik dirinya. Bukankah Anda mengenal obat yang
bermanfaat? Bukankah kegunaannya tersembunyi di dalamnya?” tegas Rumi.
Pada tanggal 5
Jumadil Akhir 672 H atau 17 Desember 1273 dalam usia 68 tahun Rumi dipanggil ke
Rahmatullah. Tatkala jenazahnya hendak diberangkatkan, penduduk setempat
berdesak-desakan ingin mengantarkan kepulangannya. Malam wafatnya beliau
dikenal sebagai Sebul Arus (Malam Penyatuan). Sampai sekarang para pengikut
Thariqat Maulawiyah masih memperingati tanggal itu sebagai hari wafatnya
beliau.
ARTIKEL TERKAIT:
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Biografi Jalaluddin Rumi
Ditulis oleh Moeclazh Favian
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://moeclazh.blogspot.com/2013/11/jalaluddin-rumi.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Moeclazh Favian
Rating Blog 5 dari 5
0 komentar:
Posting Komentar